(Serial Indonesia Membina)
Oleh: Cahyadi Takariawan
Dalam forum “Indonesia Membina” di Museum Pangeran Diponegoro Yogyakarta kemaren (Senin 20 Mei 2024), Ustadz Salim A. Fillah menjawab pertanyaan seorang peserta terkait “luka pembinaan”. Sebuah luka yang muncul dari forum pembinaan.
Jika dalam dunia parenting dikenal istilah luka pengasuhan, rupanya dalam aktivitas tarbiyah (pembinaan) juga berpeluang muncul luka pembinaan. “Bagaimana kita menyikapi luka pembinaan?” demikian pertanyaan tersebut.
Ustadz Salim A. Fillah menjawab dengan menceritakan peristiwa yang lebih “heroik” di zaman Nabi saw. “Luka pembinaan itu mungkin saja ada. Namun bagaimana kita membandingkan dengan peristiwa yang dialami Wahsyi?” ujar ustadz Salim A. Fillah.
Dalam sirah kita kenal, Wahsyi bin Harb adalah seorang budak dari Ethiopia. Ia dikenal sebagai seorang ahli tombak, yang selalu tepat sasaran. Sangat jarang lemparan tombaknya meleset dari sasaran.
Pada peristiwa perang Uhud, Wahsyi berhasil membunuh paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib, dengan lemparan tombaknya. Ini adalah cara agar dia bisa dibebaskan dari perbudakan Jubair bin Muth`im.
“Engkau akan bebas jika berhasil membunuh Hamzah”, ujar Jubair.
Usai perang Uhud, Wahsyi pun menjadi manusia merdeka. Jubair membebaskan Wahsyi sesuai janjinya.
Ketika Fathu Makkah, Wahsyi melarikan diri ke Thaif untuk mencari tempat aman. Ia merasa terancam karena telah membunuh paman Nabi saw. Wahsyi yakin dirinya akan terlindungi di Thaif.
Kondisi Wahsyi semakin sulit ketika penduduk Thaif mulai masuk Islam sesaat setelah Fathu Makkah. Setelah mendengar masukan beberapa pihak, ia memutuskan pergi ke Madinah untuk meminta ampun kepada Rasulullah dan masuk Islam.
Sesampai di Madinah, Rasulullah saw berkenan mengampuninya dan menerima keislamannya. Namun Rasulullah saw tidak mau melihat wajahnya.
Nabi saw bertanya, “Duduklah dan ceritakan bagaimana engkau membunuh Hamzah.” Wahsyi menceritakan peristiwa pembunuhan Hamzah saat perang Uhud.
Nabi saw berkata, “Celaka engkau, menyingkirlah dariku. Janganlah engkau muncul di hadapan kami.” Hal ini karena kecintaan beliau saw terhadap sang paman. Beliau tidak ingin muncul rasa benci kepada seseorang yang telah masuk Islam dan bertaubat.
Sejak peristiwa itu, Wahsyi menjauh dari Nabi saw. Wahsyi menyatakan, “Aku pun menjauh dari Nabi saw hingga beliau meninggal dunia.”
Apa yang diinginkan oleh seseorang yang bertaubat? Tentu ingin menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu sebelumnya. Ia ingin menjadi seseorang yang mendapat bimbingan langsung dari Nabi saw.
Namun rupanya ia tidak bisa mendapatkan kondisi itu. Ia bahkan harus rela menerima kenyataan bahwa Nabi saw tidak berkenan melihat dirinya.
Tidak mudah menjadi Wahsyi. Seseorang yang pernah memiliki masa lalu kelam, lalu ia telah rela totalitas “hijrah” menuju kebaikan, namun sang Murabbi tidak ingin bertemu dengannya. Sebagai mutarabbi (binaan) tentu ia sangat ingin “bermanja-manja” dengan pembinanya.
Namun apakah itu membuat Wahsyi harus meninggalkan Islam? Ternyata tidak. Ia justru ingin lebih totalitas menebus masa lalunya.
Sejak dirinya memeluk Islam, Wahsyi menunggu kesempatan untuk menebus segala kesalahan di masa lalu. Hingga tiba masa fitnah, munculnya Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab.
Wahsyi berhasil membunuh Musailamah Al-Kadzab pada peristiwa Perang Yamamah.
Dengan tombak itu Wahsyi membunuh orang yang sangat dicintai Nabi saw, Hamzah bin Abdil Muthalib. Dengan tombakitu pula ia membunuh orang yang sangat dibenci Nabi saw, Musailamah Al-Kadzab.
“Sungguh dengan tombak itu aku telah membunuh sebaik-baiknya manusia. Dan aku berharap, semoga Allah mengampuniku, karena dengan tombak itu pula aku telah membunuh seburuk-buruknya manusia,” ungkap Wahsyi bin Harb.
Maka, jika merasakan ada luka pembinaan, hendaknya dijadikan energi untuk berproses menjadi lebih baik lagi. Seperti Wahsyi.