Dalam upaya membangun sinergi antara sekolah dan orang tua, SIT Permata Surabaya kembali menggelar parenting yang sarat makna. Mengusung tema “Berdamai dengan Inner Child, Membasuh Luka Pengasuhan”, ratusan wali murid terlihat antusias menyerap ilmu dari psikolog ternama, Sinta Yudisia. Bagaimana trauma masa kecil bisa mempengaruhi pola asuh kita? Dan langkah apa yang bisa diambil untuk mengelola Inner Child agar tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik? Temukan jawabannya di sini.
Oleh: Novita Ratna Andadari (Humas SIT Permata Surabaya)
SURABAYA – Sekolah Islam Terpadu Permata Surabaya menggelar agenda parenting di halaman SDIT Permata Jalan Cacat Veteran No. 41 Surabaya. Tidak kurang dari 400 wali murid hadir pada agenda parenting yang menjadi ciri khas sekolah berpayung Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Indonesia. Wali murid yang hadir merupakan gabungan dari orang tua murid SDIT Permata sebanyak 363 serta dari wali murid jenjang KB-TKIT berjumlah 39 orang tua.
Sengaja program parenting disuguhkan kepada wali murid bersamaan dengan Rapotan Tengah Semester (RTS) agar kehadiran para orang tua optimal serta membuka mindset betapa ilmu parenting perlu terus untuk dibenahi dari waktu ke waktu sebagai bentuk sinergi pengasuhan anak antara orang tua dan sekolah. Mengangkat tema Berdamai dengan Inner Child, Membasuh Luka Pengasuhan.
Parenting kali ini menghadirkan narasumber yang memiliki kompetensi sebagai psikolog serta sebagai penulis, yaitu Sinta Yudisia.

Inner Child adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagian diri kita yang terhubung dengan masa kecil. Ini adalah bagian dari kepribadian kita yang terbentuk selama masa kanak-kanak dan dapat mempengaruhi cara kita melihat dunia, berperilaku, dan merasa.
Bagaimana Inner Child bisa mempengaruhi kehidupan orang dewasa? Lantas bagaimana agar Inner Child bisa dikelola agar membentuk kepribadian yang sehat?
Narasumber mengawali dengan cerita pembuka yaitu tahun 2009 bertemu Wali Kota Jabalia Palestina, saat ditanya apa yang dibangun apabila dapat donasi? Yaitu perpustakaan. Kemudian yang berikutnya adalah menampung anak yatim piatu Palestina. Walaupun mereka janda dan hancur rumahnya, Mereka selalu punya “payung” untuk rumah anak yatim-piatu.

Sinta Yudisia mengutip salah satu firman Allah Subhanahu wata’ala yaitu surat Al-Baqarah ayat 195:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Kita tidak akan bisa menghilangkan Inner Child. Trauma tidak akan bisa hilang. Seperti halnya yang dirasakan dengan anak-anak Palestina. Lantas bagaimana kita mereduksinya agar tidak berpengaruh ke anak-anak?
Saat ada pernah orang tua yang “njiwid” di salah satu anggota tubuh, maka kita juga melakukan yang sama.
Berikutnya tentang peringatan Allah SWT di surat Ar-Ra’d ayat 11:
“Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Kalau kita tidak pernah tau permasalahan anger (kemarahan), merasa baik-baik saja. Ada klien bertanya, “Bunda Sinta kenapa kalau saya marah sama anak saya misuh?”
Banyak orang tidak sadar kalau dia marah. Sehingga tidak bisa merubah dirinya.
Ketika mendapati anak-anak bermasalah, maka yang didudukkan adalah ortunya. “Kenapa anak saya kecanduan gawai?”, saat datang konsul. Anak itu hakikatnya adalah mudah bosan. Maka orang tua yang harus berubah. Ternyata saat Bunda Sinta memfasilitasi dengan beragam pemainan si anak enjoy.
Apa yang dinamakan inner child?
Setiap kita memiliki pengalaman masa kecil yang indah dan buruk. Ingatan masa kecil dimulai sejak usia sekolah TK, SD dan terbawa di masa-masa berikutnya. Inner Child tidak akan pernah lepas dari diri kita karena ia menjadi bagian dari sejarah hidup.
Bagaimana ayah ibu memperlakukan kita saat kecil itu masih diingat. Itu tidak bisa berubah ketika tidak kita sadari untuk berubah.
Dulu kita belum paham dunia parenting. Kata-kata orang tua yang biasanya muncul dan kita terapkan sampai kini:
- Toxic positivity: kamu anak papa yang pintar!
- Dibandingkan: coba lihat kakakmu/sepupumu/temanmu
- Tuntutan: dulu…saat seusiamu…
- Generalisir: selalu…semua… berkali-kali…
Pujian itu salah satu toxic. Harus hati-hati. Orang Barat itu banyak hukuman. Islam berada di tengah-tengahnya. Kalau salah dihukum, kalau baik diberikan reward. Membandingkan dengan saudaranya. Kata-kata akan membentuk Inner Child.
Semakin kita banyak memberikan pujian maka toxic positivity. Takut untuk mengalami kegagalan. Memberikan pujian untuk anak itu sewajarnya saja.
Ada teman-teman yang masih menggunakan disiplin dengan menggunakan kekerasan.
Bagaimana, kapan Inner Child muncul?
- Relationship
Saat anak akan dimasukkan boarding, saat dia jadi pemimpin maka akan muncul pada relationship. Breadcrumbing laki-laki yang sering memuji Wanita, “Eh kamu cantik ya”, karena dia tidak pernah dapat pujian.
Co dipendensi (pada wanita). Pinternya sudah kayak Bu Sri Mulyani misalnya. Tetapi dia tidak percaya diri.
Termasuk relationship kita nanti saat punya suami. Kita tidak bisa mencurahkan emosi pada pasangan kita. Ketika Inner Child kita di bawah alam bawah sadar, kita tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Akhirnya riwayat Inner Childnya menumpuk.
- Organization Skill
Inner Child berpengaruh pada organization skill. Saat ada masalah tidak perlu di posting. Ini akan bermasalah pada diri kita dan anak-anak kita. - Self Regulation
Apa itu Luka Pengasuhan?
Luka pengasuhan adalah luka emosi yang didapat dari orang tua atau orang terdekat di masa kecil. Tidak tampak tapi punya pengaruh besar dalam pembentukan karakter diri seseorang. Menjadi dampak jangka Panjang dalam diri seseorang ketika kerja, menikah, dan menjadi orang tua.
Ciri-ciri:
- Hipersensitif
Sangat mudah tersinggung dan baper bahkan untuk perkara-perkara yang secara umum dianggap biasa saja. Bisa jadi agresif/pasif agresif. Semisal teman lupa tanggal ulang tahun.
Saat anak kita yang hipersensitif, kok adik saja yang diperhatikan. Demikian pula murid terhadap guru bisa muncul inner child.
Waktu kecil ayah bunda pernah dibully? Dibilang hitam, dibilang jelek. Lingkungan juga berpengaruh terhadap inner child.
- Low Self Esteem
Tidak punya rasa percaya diri, tidak punya rasa bangga terhadap diri sendiri walau punya kelebihan fisik, intelektual, pengalaman, dll. Misal: selalu merasa diri lebih bodoh, jelek, gagal.
Harga dirinya rendah banget. Sebesar apapun guru mengangkat self esteemnya di sekolah, tetapi kalau di rumah sebaliknya. Maka ini bisa merusak anak.
Seorang Wibu, gambarnya bagus.
Kalimat yang terus menerus dari Ayahnya yang berkata: “kamu kalau gambar seperti itu terus hafalanmu bisa hilang”, ini juga memicu Inner Child. Perhatikan saat memilih kalimat pujian, sindiran maka kita harus tahu respon anaknya.
- Perfeksionis
Semuanya harus berjalan 100% sebab takut kalau orang akan mencela kekurangan diri sendiri. Tak pernah siap gagal. Misalnya nilai harus dapat A+ atau 100, kalau tidak akan mengulangi.
Anak-anak sering dipuji. Terus kapan kita harus memuji? Karena masing-masing orang tua punya gambaran refleksinya sendiri. Artinya mari kita lihat apakah kalau anak kita puji, jangan sampai kita bilang, “Nak kamu pinter banget,” bukan seperti ini. Tapi ganti dengan “Bagaimana perasaanmu dapat nilai 8?”. Artinya saat anak dapat nilai 100 maka lihat responnya apa yang belum puas pada anak tersebut.
- Co-Dependency
Kepentingan orang lain harus diutamakan, harus bisa memberi banyak pada orang lain, harus bisa melayani orang hingga memuaskan. Misalnya memberi hadiah istimewa sangat mahal pada pasangan meski tak punya uang.
Kenapa dulu kita dimarahin bapak ibu tetapi kita tetap baik? Karena orang tua sepakat.
Ketika dapat ilmu parenting pastikan bahwa sepasang orang tua tersebut harus sepakat.
Kita nanti di kamar bersepakat. Jangan sampai di depan anak kita berselisih. Ini akan membuat anak manipulatif.
Ingat tidak saat ayah ibu marahin anak, mereka bersepakat. Jangan bantah-bantahan di depan anak. Saat itulah anak akan lari ke ayahnya, atau ke kakek neneknya. Ini yang akan menyebabkan anak manipulatif.
Cara mengobati kalau sudah kadung Inner Child:
- Self Acceptance
Penerimaan diri. Semua pengalaman adalah kekayaan hidup.
A. Ketika menerima luka pengasuhan, maka belajar bagaimana supaya tidak mengulangi lagi.
B. Tidak ada kata “tapi”
C. Tinggalkan “jika” atau “andai”
Luka pengasuhan saat bersama ayahnya, dan diterapkan diturunkan ke anaknya.
- Sejarah Keluarga
Pelajari perjalanan keluarga besar, akan ditemukan titik pemahaman. Ayah dan ibu barangkali juga mengalami permasalahan-permasalahan di masa kecil sehingga menjadi orang tua tak bijak.
Saat konsultasi klien diminta membuat pohon keluarga. Anak ini menggambarkan pamannya seorang pemain wayang, sinden, dst. Dia sering pindah sekolah. Dia tidak pernah masuk sekolah.
Padahal saat ditelusuri dari pohon keluarga anak ini bakatnya adalah seniman. Maka itulah alasan dia sering pindah sekolah.
- Pelajari Diri
Catat dan cermati betul luka-luka diri di masa kecil.
- kebutuhan-needs
- luka-luka (emosi, fisik)-pains
- harapan-hopes
- impian-dreams
Seorang yang sadar dirinya suka misuh.
- Re-Parenting
Jadilah orang tua bagi diri sendiri.
- self talk: jadi ibu ideal di imajinasi
- hadiah bagi diri sendiri
- puji diri sendiri
- Perbaiki Diri
Step by step, semua butuh proses. Perbaiki luka-luka tersebut dengan berbagai macam treatment: doa, relaksasi l, olahraga, konseling, anger management, belajar berkomunikasi, dll
Mereka yang sejak kecil dilatih kamu harus jadi anak mandiri misalnya. Akhirnya itu terjadi kepada anak kita, “Ah cuma kayak gitu saja ngeluh,” setiap anak berbeda, IQ nya berbeda, sama-sama introvert saja itu berbeda.
Saat parenting kehadiran ayah dan ibu itu adalah awal yang baik dalam step by step proses pengasuhan.
Antusiasme peserta nampak pula saat dibuka sesi tanya jawab yang dipandu oleh ustad Handika selaku moderator parenting kali ini. Pertanyaan pertama tentang apakah Inner Child itu termasuk gangguan kesehatan? Tidak semua Inner Child itu menjadi gangguan. Saat ada anak misalnya dia dibuang semasa kecil. Tetapi saat dewasa self esteemnya bagus. Kecuali Inner Child itu sampai trauma maka bisa menyebabkan gangguan. Penyebab luka emosional?
- Penolakan.
- Pengkhianatan menyaksikan ortu berpisah.
Sigmud Freud beberapa pernyataannya benar, saat punya mental Illness (gangguan mental salah satu masalah kesehatn yang bisa terjadi pada siapapun, dari anak-anak hingga lansia baik pada laki-laki maupun perempuan) maka cek ibunya.
Jadi ibu ini adalah gerbong, bagaimana ibu yang mengawal anak untuk jujur, taat, dll. Hafalannya bagus tetapi tidak punya cita-cita. Jadi ibu sudah menanamkan kebaikan maka ibunya harus pula menanamkan sebagai pemimpin. Sekali lagi Bapak Ibunya adalah gerbongnya.
Jangan perfeksionis. Kamu harus siap gagal. Kalau kemudian kamu tidak jadi astronot kamu mau jadi apa? Agar dia tidak asing dengan kegagalan.
Pertanyaan berikutnya tentang perihal seputar NPD (Narsistik Personality Disorder).
Salah satu gangguan kepribadian adalah NPD narsistik. Awalnya dari mana? Karena kehadiran dia tidak pernah mendapatkan porsi yang selayaknya. Dia good looking, dia pinter komunikasinya, dia merasa layak dicintai.
Narsistik Personality Disorder (NPD) adalah suatu gangguan mental yang ditandai oleh pola perilaku yang berlebihan dalam kebutuhan akan pujian, ketidakmampuan untuk memahami atau mengakui perasaan orang lain, dan kebutuhan yang berlebihan untuk mendapat perhatian.
Cowok atau cewek yang dia suka butuh validasi dirinya. Ini penyakit mental disorder yang saat ini banyak muncul. Agar kita tidak narsistik maka minta pujian pada pasangan kita. Itu adalah bagian dari alam bawah sadar kita. Mintalah pujian kepada pasangan halal kita. Hati-hati saat ada orang yang memuji di FB. Penuhi kebutuhan dasarnya anak akan cinta dan kasih sayang.
Sinta Yudisia menutup materi parenting dengan pesan sebagai berikut,
“Berilah diri kita dan anak-anak kita cinta dan penghargaan. Berupa kata-kata, pujian, kalimat. Insyaallah bisa mengobati luka emosi,” pungkas Sinta.
Di penghujung parenting sebelum diakhiri peserta yang hadir diajak oleh pemandu acara Kustian Puji Astuti Yuniasih, AMd. AK dan Ns. Zikra Amalia, S.Kep untuk berfoto bersama Sinta Yudisia selaku narasumber, Ketua Yayasan Pendidikan Islam Permata Lutfiatul Ma’rifah, Maria Indah Triana Kepala Sekolah KB-TK Islam Terpadu Permata serta Amilud Dinul Qoyyimah selaku Kepala Sekolah SDIT Permata Surabaya.
Salah satu peserta juga menutup sesi parenting ini dengan menyampaikan insight agar kita selalu bahagia.
“Tak perlu menunggu bahagia agar kita bersyukur, maka bersyukurlah agar kita bahagia,” ujar Choirul Nikmah wali murid kelas 2B yang mendapatkan doorprize berupa voucher makan gratis dari Komite SDIT Permata Surabaya. ***